Saya Ngeblog Lagi Karena Twitter Berbahaya dan Kamu Juga Harus

12/28/2020


Masih ada yang inget gak, Twitter itu makhluk media sosial jenis apa? Media sosial untuk berteman? Jelas bukan, karena Twitter encourage kita untuk follow apa yang menarik buat kita, bukan follow teman-teman kita di real-life (makanya, jangan baper kalau cinta monyetmu waktu SD menolak untuk followback). Media sosial untuk jualan? Walau banyak yang meminta Twitter mengeluarkan "ilmu magisnya" untuk membantu mendatangkan penglaris lewat tweet-tweet setengah mengemis "twitter do your magic", tapi jelas itu bukanlah intensi utama Jack Dorsey dkk membidani lahirnya Twitter ke dunia.

Twitter adalah media sosial berbentuk microblog, dimana kita bisa menuangkan pikiran kita dengan sangat singkat yakni dalam 280 karakter (dulu 140 karakter). Twitter membanggakan dirinya sebagai media sosial yang paling up-to-date dan gercep mengabarkan sesuatu yang sedang terjadi di dunia. Kalau ingin tahu peristiwa apa yang sedang terjadi di dunia, Twitter adalah go-to platform untuk itu, bukan Facebook, Instagram, atau TikTok.

Si burung biru dari awal memang dirancang seperti itu, sebuah tempat untuk ngomongin hal yang sedang happening. Itulah sebabnya ketika kita ingin menulis tweet, Twitter bertanya "What's happening?" alih-alih "What's on your mind?" seperti yang Facebook tanyakan ketika kita ingin menulis status.

Ya, memang pada akhirnya Twitter berhasil menjadi tempat dimana kita bisa mendapatkan kabar secara realtime tentang suatu peristiwa. Karena nature microblog-nya, orang-orang jadi "ringan jari" untuk update apa saja yang terjadi di sekitarnya.

Namun apa harga yang harus dibayar dari itu semua?

Sejauh ini kita menghetahui bahwa:

1. Twitter fokus pada peristiwa yang terjadi di sekitar kita

2. Twitter berbentuk microblog sehingga orang lebih bisa gercep untuk share pemikirannya

Dua poin ini menimbulkan kondisi dimana hampir semua konten Twitter adalah reaksi kita terhadap suatu peristiwa di sekitar kita. Di sini lah bahayanya Twitter.

Otak Manusia Berevolusi Untuk Twitter-an?

Mengutip Kahneman dalam 'Thinking, Fast and Slow', otak kita punya dua mode: Sistem Satu yakni mode yang lebih intuitif, otomatis, dan impulsif, serta Sistem Dua, mode yang lebih menelaah, mempertimbangkan, dan menganalisa.

Ketika Twitter-an, karena nature platformnya yang serba cepat, kita jadi terbiasa untuk cepat pula membagi pikiran kita terhadap suatu peristiwa. Kita jadi gampang reaktif. Bisa dikatakan, Sistem Satu yang lebih impulsif adalah kawan setia kita ketika bermain Twitter. Padahal kita tahu, kalau kita terlalu cepat bereaksi terhadap suatu hal, sangat mungkin kita belum mendapatkan info utuh tentang hal tersebut.

Bukan berarti Sistem Satu adalah sistem yang buruk yang selalu akan membawa kita ke situasi yang buruk ya. Sistem Satu adalah sistem warisan evolusi ribuan tahun yang tanpanya mungkin spesies kita sudah punah sebelum menguasai planet. Ya, dulu kalau lihat ada semak-semak bergerak, kita tidak perlu menelaah secara seksama dulu dengan Sistem Dua apakah itu bergerak karena angin yang berhembus di muka bumi atau karena ada harimau Sumatera di baliknya. Menggunakan Sistem Satu untuk reaktif dan langsung lari menyelamatkan diri tentunya adalah pilihan terbaik. Di era modern, Sistem Satu juga masih sangat kita butuhkan. Misalnya ketika sedang menyeberang jalan lalu terdengar suara klakson keras, bukankah lebih baik langsung bereaksi minggir daripada harus diam dulu dan mencari tahu apakah klakson itu berasal dari telolet Bus Budiman yang sedang ngebut, atau cuma berasal dari Honda Beat Mas-Mas Jamet yang hobi ngeprank?

Namun seperti kata Kahneman dalam bukunya, bukan hanya Sistem Satu dan Sistem Dua memiliki perannya masing-masing dalam setiap keputusan yang kita ambil sehari-hari, tapi terkadang, kedua sistem ini berebut kendali di kursi pengemudi otak kita. Sayangnya, karena nature Twitter yang arus tweetnya melebihi arus kendaraan di pintu tol Palimanan pada H-2 lebaran, Sistem Satu sering kali tampil lebih perkasa dalam perebutan kendali itu untuk memastikan kita dapat bereaksi mengimbangi kecepatan lalu lintas tweet tersebut.

Tentu saja ini adalah resep sempurna untuk blunder.

Pasal Satu: Setiap orang bisa salah

Masih senada dengan apa yang saya tulis tiga tahun lalu di blog ini, otak manusia itu penuh dengan bias dan tidak mungkin setiap saat bertindak rasional. Itu adalah sebuah keniscayaan. Ditambah dengan memahami peran Sistem Satu, kita memang harus mengakui bahwa setiap orang bisa salah. Prinsip ini wajib kita imani khususnya saat Twitteran. Setiap orang, tanpa terkecuali--termasuk para ahlinya-ahli-intinya-inti-core-of-the-core, selebtweet woke favoritmu, e-girl kesayanganmu, saya, maupun kamu--bisa salah. Begitu bunyi "Pasal Satu"-nya.

Memahami bahwa kita cenderung reaktif saat Twitter-an dan karenanya akan sangat mungkin salah--kalau tidak mau dikatakan "pasti akan salah"--akan membuat kita lebih siap saat giliran kita yang salah. Dalam ber-twitter-ria, idealnya kita memang sudah siap jika tweet-tweet reaktif kita suatu saat akan dibantah orang dengan informasi yang lebih benar atau fakta yang lebih cucok. Bahkan lebih jauh, kita harus siap ketika kita nge-tweet sesuatu yang tidak benar, kita juga mungkin akan dapat bonus piring cantik konsekuensi sosial berupa bully-an dari orang-orang yang tiba-tiba ramai bermunculan seperti semut mengerubungi krim Kinder Joy (ingat, fitur Retweet-nya Twitter bener-bener bisa bikin tweet kita bergulir liar dari satu linimasa ke linimasa lain dengan kecepatan cahaya).

Jika saat itu tiba, tidak ada cara lain selain dengan siap mengaku salah dan siap bilang "I stand corrected". Akui saja kalau dengan nge-tweet secara reaktif, besar kemungkinan kita tidak mengetahui informasi secara utuh, tidak mempertimbangkan segala sisi, dan sangat mungkin kita salah. Akui saja. Memang itulah dinamika Twitter saat ini. Tinggalkan ngeles kita di atas Bajaj dan akui kesalahan.

Sebaliknya, memahami bahwa sebagian besar konten di Twitter adalah konten-konten reaktif orang terhadap suatu hal, kita juga akan jadi lebih empatik ketika melihat blunder dari orang lain lewat di linimasa kita. Sering kali konsekuensi sosial dari nge-tweet hal yang salah di Twitter bisa blew out of proportion bagi sebagian orang yang mungkin saja tidak pantas menerimanya.

Memang, ada beberapa orang yang punya niat jahat dengan mencuit informasi yang salah, atau sengaja membuat kebingungan dengan disinformasi. Namun perlu kita ingat, banyak juga kesalahan yang terjadi karena honest mistake atau karena Si Sistem Satu orang tersebut pada saat ngetweet kebetulan sedang dalam kendali atau karena orang tersebut tentunya punya bias atau karena lingkungannya membuat dia punya satu sudut pandang dan belum pernah terpapar dan consider sudut pandang lain. 

Banyak faktor yang bikin seseorang nge-tweet sesuatu yang salah selain "dia orang jahat yang pantas kita cyberbully".

Coba deh inget-inget, berapa kali kita menyaksikan tweet-tweet blunder yang berawal dari menanggapi suatu hal tanpa tahu informasi utuhnya dan akhirnya berakhir dengan bully-an berlebihan kepada si empunya tweet tersebut? Terlalu banyak. Tidak jarang juga itu dialami oleh publik figur, selebtweet, expert, atau--yang lebih mengkhawatirkan--anak di bawah umur biasa yang akhrinya bisa mengganggu mentalnya.

Bahkan saya--yang saya sendiri merasa adalah orang yang cukup berhati-hati saat nge-tweet--pun tidak luput dari daftar panjang tersebut. Yang follow saya di Twitter mungkin masih ingat bulan Juni lalu salah satu tweet saya sempat mengundang permasalahan. Intinya, siapa saja bisa tersandung masalah di Twitter karena terlalu reaktif menanggapi suatu hal. Pertanyaannya adalah, mengetahui hal ini, bagaimana kita tetap bisa Twitter-an dengan aman?

Berontak lewat diam

I love twitter, I do. Di tahun kesepuluh saya menggunakan Twitter, dia masih menjadi media sosial kesayangan saya di antara yang lain. Ketika Facebook sudah seperti KTP yang wajib dipunyai semua warga, saya masih lebih suka Twitter. Di saat Instagram seperti mata kuliah wajib yang harus diikuti, saya pun masih lebih suka Twitter. Namun Madon! sungguh arsitektur Twitter dan environment-nya membiasakan otak saya untuk berpikir reaktif. Twitter memberi reward bagi sesiapa yang quick-witted menanggapi suatu hal lewat ribuan RT dan likes yang super duper efektif membucahkan serotonin. Hal ini membiasakan otak saya untuk selalu nyamber ke sesuatu hal tanpa berpikir panjang karena takut kehilangan momen.

Saya merasa saya mulai kehilangan kemampuan untuk mencerna sesuatu secara lebih tenang, bepikir lebih dalam, serta lebih komprehensif. Saya merasa saya mulai kehilangan kemampuan untuk menuliskan apa yang ada di pikiran saya secara rinci, runut, dan utuh. Bukan reaksi sok ngelucu dalam 280 karakter. Bisa dilihat sendiri di arsip blog ini, semakin tahun tulisan yang saya tulis di sini semakin sedikit. Saya selalu berkata pada diri sendiri bahwa saya tidak punya waktu lagi untuk membuat tulisan blog panjang, tapi angka tweet saya semakin hari semakin bertambah dan saat tulisan ini dibuat sudah menembus angka 90ribu tweet. (ya, bayangkan seorang manusia membuat tweet 90ribu kali!). Bahkan dalam membuat tulisan ini saja saya butuh beberapa kali duduk, terdistraksi setiap menulis beberapa kata (sangat mungkin, setiap 280 karakter).

Ini berbahaya sekali. Sekali lagi, berbahaya.

Saya tidak mau kehilangan kemampuan menulis saya dan yang lebih penting, saya tidak mau kehilangan kemampuan untuk mencerna sesuatu secara dalam dan menuangkan pikiran saya secara runut.

Maka saya harus berontak dari sebuah lingkungan yang keadaan yang diciptakan oleh Twitter ini dengan melakukan dua hal: kurangi nge-tweet untuk menghilangkan kebiasaan terlalu reaktif dalam menanggapi suatu hal dan perbanyak nge-blog untuk memunculkan kembali kemampuan menuangkan ide secara utuh.

Aduh, menulis "kurangi nge-tweet" barusan saja otak saya sudah protes, merasa itu bukan sesuatu yang realistis. Okelah, jika tidak bisa kurangi nge-tweet, setidaknya kurangi nge-tweet secara reaktif. Karena tidak segala sesuatu harus kita tanggapi. Kita tidak wajib punya opini atau pendapat terhadap segala sesuatu, dan yang paling penting, tidak semua orang peduli terhadap opini kita, jadi kenapa repot-repot? Oh ya, ini juga termasuk reaktif ikut-ikutan nge-bully yang blunder di Twitter (ingat Pasal Satu).

Jika ingin nge-tweet, nge-tweetlah sesuatu yang bukan reaksi terhadap suatu hal, tapi justru sesuatu yang memulai perbincangan itu sendiri. Membuat thread mungkin adalah kompromi di antara nge-tweet dan nge-blog, dengan formatnya yang tetap per 280 karakter seperti tweet, tapi memerlukan "duduk sejenak dan menyusun" seperti ngeblog.

Misi kedua tidak kalah sulitnya bagi saya: lebih sering ngeblog. Beberapa waktu terakhir saya suka membaca kembali tulisan-tulisan lama saya di blog ini dan berpikir "wah, kok dulu saya bisa ya menulis sepanjang dan serapi ini?". Lalu saya melihat diri saya sekarang, dua tahun tanpa tulisan dan setiap hari menunggu ada keramaian apa lagi ya di linimasa Twitter yang bisa disamber. Sedih.

Namun komitmen itu harus dibuat, demi kesehatan otak dan mental saya sendiri. Saya sudah memikirkan beberapa ide tulisan blog selanjutnya. Lagipula, jika saya bingung mau nulis apa setelah mengalami tahun yang punya banyak sekali hal untuk diomongin ini, mungkin saya memang tidak bisa menulis apa-apa lagi.

Pada akhirnya setelah menjelaskan alasan sepanjang 1500 kata lebih di tulisan terpanjang saya sejak menyelesaikan skripsi ini, saya mantap mensyiarkan refleksi akhir tahun sekaligus resolusi tahun baru saya: saya ngeblog lagi karena Twitter berbahaya dan kamu juga harus.

ENJOY YOUR DAY!

Ditulis oleh Ramy Dhia
Seorang mahasiswa arsitektur yang mencintai dunia desain, teknologi, pop culture, dan penulisan. Ngeblog sejak 2010 dan mulai ngeVlog di Youtube sejak 2014. Hobi nonton TV Series dan merupakan pemain abadi dari game Harvest Moon: Back to Nature.
NB: Bercita-cita ingin menguasai dunia.


You Might Also Like

6 comments

  1. selamat datang kembali di perblogan duniawi ini mas, semoga semakin banyak lagi yang balik nulis di blog ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasiiih. Amiiin, semoga dunia perblogan duniawi ramai kembali

      Hapus
  2. Saya jadi ingat ungkapan yang saya dapat dari rekaman kajian yang ada di youtube. Beliau bilang begini: "saya mendengar, akhirnya saya mengetahui. Saya diam, akhirnya saya selamat".

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah keren juga quote nya, dari kajian apa itu kalo boleh tau?

      Hapus
  3. Aku udh ninggalin Twitter sih, walopun akunnya msh ada. Ntah kenapa jd kehilangan minat utk trus di situ :). Bisa jd Krn sblmnya aku main di Twitter pake aplikasi UberTwitter. Bukan Twitternya lgs, walopun ini connect.

    Uber lbh user friendly, dan seingetku dia bisa LBH dr 140 karakter. Trus kalo misalnya ada tweet yg baru2, Uber nampilin mulai dr yg paling bawah yg blm kita baca, baru ke atas. Smntara si twitter, nampilin ya dr atas dulu, dan ga jelas stop nya di mana hahahaha . Dan kmudian Uber distop. Ya Krn itu aku males lanjutin pake aplikasi yg Twitter. Ga nyaman dan ga biasa aja. Walopun kata temen2ku yg msh pake Twitter udah LBH seru drpd dulu :D. Skr LBH cocok Ama FB dan IG memang :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah anak twitter lama banget nih, pas masih 140 karakter dan pake ubertwitter biar bisa twitlonger hahaha.

      cuma kalo saya masih tetep twitter lebih enak daripada instagram dan facebook, tapi ya gitu, kalo terlalu berlebihan bahaya juga

      Hapus

Page Ranking Tool
DMCA.com

I'm in

postimage
Mutsurini Team
Komunitas Online Kab.Tangerang Warung Blogger