Ketika harus menatap layar laptop untuk menyelesaikan pekerjaan, perhatian saya malah teralihkan oleh hiasan gantung di arah jam 11. Sebuah dream catcher besar. Saya bahkan tidak ingat bagaimana dream catcher tersebut berujung tergantung di dinding kamar saya dengan canggung, bisa jadi itu milik adik saya, atau milik adik saya yang satunya, tapi yang jelas, saya tidak ingat pernah membeli dream catcher tersebut.
Namun ada dream catcher yang saya ingat saya pernah beli. Tepatnya saya beli sembilan tahun lalu dan hampir 600km dari saat dan di mana tulisan ini dibuat. Alasan saya masih ingat adalah karena memori itu tersimpan dalam folder long-term memory di otak saya. Alasan sebuah memori tersimpan di long-term memory adalah karena pada saat kita mengalami memori tersebut, kita mengalaminya dengan perasaan yang amat kuat. Dan alasan saya memiliki perasaan yang amat kuat pada saat mengalami memori tersebut adalah karena saya sedang jatuh cinta.
Di kelas XI, giliran angkatan saya yang akan menjalani study tour, ituloh, kegiatan yang ada kata 'study' nya agar terasa lebih pas dijalankan oleh sebuah lembaga pendidikan tapi semua orang yang terlibat di dalamnya mulai dari siswa, guru, sampai supir bus tahu betul bahwa inti dari kegiatan ini terletak pada kata 'tour'-nya. Pada saat itu saya sedang dekat dengan seorang adik kelas, yang berarti dia tidak ikut study tour bersama angkatan saya. Maka seperti kebanyakan anak SMA lainnya yang sedang jatuh cinta, saya berniat untuk memberikan oleh-oleh dari petualangan seminggu mengunjungi Yogyakarta, Malang, dan Madura ini. Bukan kripik buah, bapkia pathok, atau salak pondoh, saya ingin memberikan hadiah yang spesial.
Saya memiliki formula sendiri untuk sebuah hadiah bisa dikatakan spesial: harus tidak bisa habis dikonsumsi agar bisa menjadi memento atau kenang-kenangan dan harus mengandung hal personal yang mungkin hanya bisa dimengerti signifikansinya oleh si pemberi dan yang diberi. Dari dua formula ini, tentunya oleh-oleh makanan menurut saya tidak termasuk hadiah yang spesial yang bisa saya berikan kepada orang yang spesial.
Saya teringat akan percakapan kami beberapa hari sebelum saya berangkat, dia cerita tentang bagaimana beberapa hari terakhir dia sering mengalami mimpi buruk. Lalu saya teringat tentang sebuah aksesoris yang berasal dari budaya suku Native American yang digunakan untuk menangkal mimpi buruk. Namanya dream catcher atau penangkap mimpi. Bentuknya seperti sebuah cincin besar dengan jaring-jaring di dalamnya, dilengkapi juga dengan beberapa helai bulu burung. Letakkan dia di dekat tempat kita tidur, maka dia akan bekerja untuk menangkap mimpi-mimpi buruk kita seperti sarang laba-laba menangkap laron dan lalat buah. Tentu saya dan dia tidak mempercayai sisi fungsional dream catcher untuk benar-benar menangkap mimpi buruk, tapi memberikan dream catcher setelah dia cerita tentang mimpi buruk akan membuat hadiah ini memenuhi syarat kedua: personal.
Menentukan mau ngasih hadiah apa adalah satu hal, tapi mendapatkannya adalah perkara lain. Pada saat itu, dream catcher belum menjadi aksesoris yang sepopuler sekarang dan masih susah ditemui. Waktu itu kepopulerannya diangkat oleh sebuah thread kaskus dan FJB (Forum Jual Beli) Kaskus adalah satu-satunya tempat yang saya tahu di mana bisa mendapatkan dream catcher selain sebuah toko aksesoris Native American di sebuah mal di Tangerang (tapi harganya mahal bingit). Saya tidak punya informasi apakah di Yogyakarta saya akan lebih mudah mendapatkannya, tapi saya tidak peduli, saya niatkan untuk mencari si penangkap mimpi ini selama study tour. Lagipula apapun yang dilakukan atas nama cinta pada akhirnya akan menemukan jalan, kan?
Di antara beberapa destinasi study tour kami, kesempatan untuk mencari oleh-oleh yang sangat spesifik ini hanya ada ketika kami mengunjungi Malioboro. Karena destinasi yang lain seperti wisata petik apel, kunjungan ke Universitas Negeri Malang, dan makan bebek Madura langsung di Madura, sepertinya tidak menyediakan saya kesempatan mencari oleh-oleh itu. Sudah jelas window saya hanya ada di Malioboro.
Maka saat itu, fokus saya hanya pada mencari dream catcher dan tidak mempedulikan hal-hal lain di Malioboro yang menginspirasi ratusan lagu cinta ini. Lapak demi lapak akesesoris saya jajaki tapi tidak menemukan dream catcher. Seorang teman yang menemani saya (baca: saya paksa menemani saya) mulai lelah dan membujuk saya untuk membelikan oleh-oleh lain saja, "kalung, gelang, atau apalah", kata dia. Namun kalung, gelang, atau apalah bukanlah dream catcher. Kalung, gelang, atau apalah, tidak mengandung unsur personal yang berhubungan dengan cerita dia tentang mimpi buruknya. Dan kalung, gelang, atau apalah bukan hadiah spesial, dan orang yang spesial hanya pantas diberikan hadiah yang spesial. Entah bagaimana saya merangkum penjelasan barusan yang ada di otak saya hanya ke dalam kalimat, "gak, kita cari lagi".
Seiring dengan semakin jauhnya kami kepada bus rombongan, semakin dalamnya kami menyusuri jalan yang bahkan saya tidak tahu apakah ini masih berada di ruas Jalan Malioboro, perlahan keyakinan saya juga mulai pudar. Otak SMA saya sering berpikir bahwa perjuangan atas nama cinta pastilah akan berbuah manis. Jika kita terus berjuang walau dunia terasa tak berpihak pada kita, pada akhirnya perjuangan kita akan terbayarkan. Jika saya terus mencari tanpa lelah, pastilah akan ketemu. Begitulah yang selama ini saya ketahui dari film-film dan kultur pop percintaan. Love will find a way.
Apakah semua itu tidak benar? Apakah selama ini saya telah ditipu? Lagipula kalau dipikir-pikir, jika memang sepanjang Jalan Malioboro tidak ada satu pun penjual aksesoris yang menjual dream cacther, bukan berarti tiba-tiba Malaikat Cupid akan secara ajaib menembakkan panahnya dengan kantong kresek berisi dream catcher kepada salah satu lapak agar bisa dibeli oleh seorang bocah SMA ingusan yang kasmaran hanya karena dia memiliki ide romantis di kepalanya. Saya haus, lelah, dan takut.
Namun di saat saya sudah mulai putus asa dan berpikir untuk kembali pada rombongan, saya menemukan "Paus Putih" saya. Satu-satunya lapak sepanjang jalan yang kami susuri yang menjual dream catcher. Walaupun ukurannya kecil, tidak seperti yang saya lihat di toko aksesoris di mal, dan dengan warna yang sedikit norak (berwarna warni merah, kuning, hijau, ngejreng, alih-alih warna cokelat seperti dream catcher yang sekarang umum), tapi saya bahagia tak terkira karena menemukannya. Akhirnya kresek itu saya dapatkan, bukan dari panah Cupid, tapi dari tangan abang penjual aksesoris yang ditukar dengan rupiah yang cukup murah. Saya beli tiga. Warna merah, kuning, dan biru muda.
Sebenarnya setelah itu, study tour kami masih berlanjut untuk beberapa hari lagi dengan tujuan Malang dan Madura, tapi rasa-rasanya pikiran saya sudah menekan tombol "enter" dalam lorong waktu agar segera bisa memberikan hadiah ini kepada si dia sambil berkata, "nih, biar gak mimpi buruk".
(Akan berlanjut ke Part 2)