Kali ini tentang traveling nih. Semenjak kuliah di kampus yang jurusan arsitekturnya memiliki visi Arsitektur Nusantara, pandangan gue jadi terbuka akan betapa luar biasanya warisan nenek moyang kita, khususnya di bidang arsitektur. Di kampus juga gue banyak belajar bahwa ternyata arsitektur-arsitektur nusantara peninggalan nenek moyang kita itu luar biasa banget, seperti system strukturnya, teknologinya, ke-ramah-lingkungannya, dan masih banyak lagi, padahal ratusan tahun lalu pastinya belum ada alat-alat canggih dan kalkulasi komputer seperti sekarang yang bisa membuat struktur-struktur megah.
Yang paling penting dari belajar Arsitektur Nusantara adalah gue jadi paham, ternyata penerapan arsitektur yang paling cocok untuk dipakai di Indonesia adalah arsitektur nusantara, yang sesuai dengan iklim dan budaya setempat. Tapi bukan berarti kita harus tinggal di rumah tradisional seperti zaman baheula, yang jadi tantangan arsitek-arsitek Indonesia adalah bagaimana merekontekstualisasi nilai-nilai arsitektur nusantara kepada bangunan modern. Sayangnya, kita sudah “hidup bersama” bangsa Eropa terlalu lama, sehingga bukan saja mengalami penajajahan fisik, tapi juga penjajahan mental. Bangsa kita jadi “tidak pede” dengan apa yang menjadi miliknya dan menganggap bangsa Eropa atau Barat sana lebih daripada kita, begitupun di sisi arsitektur. Gaya Eropa dengan arsitektur temboknya dipercaya lebih keren dan menjadi kiblat arsitektur kita, sehingga orang-orang berlomba-lomba memiliki rumah gaya Eropa, yang padahal belum tentu sesuai dengan kondisi iklim atau budaya setempat.
Anyway, dari ratusan rumah adat di Nusantara, ada beberapa yang sering banget muncul dan dibahas di kampus dan paling gue inget, dan membuat gue ingin mengunjungi, melihat, serta mengaguminya sendiri--langsung di tempatnya--bukan hanya dari buku atau dari Taman Mini. Setidaknya ada dua lokasi yang pengen banget gue kunjungi yang merupakan primadona arsitektur nusantara, Desa Wae Rebo di Flores dan Desa Kete Kesu di Tana Toraja.
Wae Rebo, adalah desa terpencil di Kabupatan Manggarai, terletak di antara perbukitan, yang menyimpan peninggalan arsitektur nusantara yang sangat luar biasa, berupa tujuh rumah tradisional berbentuk kerucut. Rumah paling besarnya, disebut Mbaru Niang, teridiri dari 5 lantai! Makanya, rumah tradisional ini banyak menuai decak kagum, mengingat bahan-bahan yang dipakai adalah bahan-bahan alami, tetapi masyarakat di sana pada zaman dulu sudah mampu membuat bangunan mid-rise building. Wae Rebo sekarang menjadi salah satu destinasi para arsitek dan mahasiswa arsitektur untuk belajar mengenai arsitektur nusantara.
Kete Kesu mungkin kita lebih sering mendengarnya, desa dari rumah Tongkonan yang luar biasa ini lumayan sering diliput di TV. Ada 8 rumah Tongkonan yang disusun berhadap-hadapan, lengkap dengan lumbung padinya. Konon, waktu Belanda pertama kali tahu tentang rumah Tongkonan ini, mereka kagum sekaligus denial, mana mungkin masyarakat Nusantara bisa membuat rumah yang segini megahnya. Lihat saja struktur atap yang besar dari rumah Tongkonan yang khas itu. Bukti gak bisa bohong, nenek moyang kita bisa genius in their way heuheu.
Tentunya selain dua desa di atas, masih banyak lagi destinasi arsitektur nusantara yang gak kalah kerennya. Tapi gue pengen banget, sebelum meninggal, setidaknya gue ingin mengunjungi kedua tempat tersebut. Tahun kemaren sih, PROPAN memberi hadiah kepada para pemenang sayembara arsitektur nusantara untuk berkunjung ke Wae Rebo, pasti seru banget. Mudah-mudahan ada kesempatan-kesempatan kayak gitu lagi dan gue berharap, gue bisa mendapatkan kesempatan itu dan merasakan pengalaman menjelajahi kekerenan arsitektur nusantara.
ENJOY YOUR DAY!
sumber gambar :
http://rolandtravel.co.id/images/news/59824kampung%20waerebo1.jpg
http://i48.tinypic.com/2a9o6qx.jpg
https://farm6.staticflickr.com/5528/11055455306_df10be0d6e.jpg