Bias Kognitif, Alasan Orang Pintar Sekalipun Gampang Kemakan Hoax

2/12/2017


Dari skala 1-5, seberapa tepat pernyataan di bawah ini menggambarkan perasaan kamu?
"Saya sedih karena orang-orang terdekat saya, keluarga, dan teman-teman lama saya, akhir-akhir ini sering banget kemakan berita bohong (hoax), bahkan turut ikut menyebarkannya di media sosial mereka. Padahal mereka adalah orang-orang yang saya anggap pintar, bijaksana, dan saya hormati.". Gimana, apa pernah merasa seperti itu? Kalau pernah, silahkan lanjutkan membaca karena di postingan ini akan dibahas kenapa bisa seperti itu. Kalau gak pernah, wah, silahkan lanjutkan membaca karena bisa jadi orang tersebut adalah kamu.

Otak Manusia Itu Bodoh

Bayangkan kita jalan-jalan ke Grand Canyon Amerika, lalu berjalan di atas Skywalknya, sebuah jembatan kaca besar yang menggantung di atas Sungai Colorado. Bayangkan kita berjalan di atas jembatan skywalk tersebut sampai ke tengah, lalu menengok ke bawah, melihat kaki kita berpijak pada kaca yang bening transparan, “melayang” di ketinggian 1200 meter—lebih tinggi dari gedung pencakar langit paling tinggi di dunia saat ini, Burj Khalifa. Apa yang terjadi? Jika kita seperti orang pada umumnya dan bukan seorang alien, kita pasti akan merasa ngeri bukan? Jantung mulai berdegub lebih kencang dari biasanya, lutut gemetar, telapak tangan mulai keringat dingin, dan kita akan memegang railing jembatan sedikit lebih kuat. Oke, mungkin jauh lebih kuat. Namun sadarkah, fakta bahwa kita merasa ngeri tersebut adalah aneh dan tidak logis?


Karena ya Skywalk-nya sebenarnya sudah pasti aman, jembatan kaca tersebut sudah terpasang dengan konstruksi baja yang tentunya sudah sangat diperhitungkan dan dirancang oleh para insinyur yang berpengalaman dengan mempertimbangkan beban orang, angin, dan perhitungan lainnya. Sama kuatnya kalau jembatan itu terletak di ketinggian 400 meter, 40 meter, atau bahkan 4 meter sekalipun. Pada dasarnya, jembatan kaca tersebut sama amannya dengan apapun yang pernah kita pijak selama ini. Kita bahkan punya banyak data yang mendukung betapa amannya jembatan kaca tersebut: ribuan turis melewati jembatan Skywalk tersebut setiap tahun dan tidak satupun dari mereka yang jatuh, statistik ini bahkan lebih aman dari angka pejalan kaki yang meninggal saat sedang berjalan di trotoar. Kita tahu dan kita percaya kalau jembatan tersebut 100% aman—kalau tidak percaya kita tidak akan naik ke sana dari awal—tapi kita tetap merasa ngeri (mungkin sampai ngompol). Pertanyaan satu milyarnya adalah: KENAPA?

Tentu saja ini adalah ulah si gumpalan-merah-muda-benyek-benyek di dalam tengkorak kita yang biasa kita sebut dengan otak. Kita dulu berpikir bahwa otak kita bekerja layaknya sebuah komputer—memproses informasi secara logis—tapi tentunya si gumpalan-merah-muda-benyek-benyek tersebut dapat melakukan banyak hal lain selain proses matematis, dan banyak hal tersebut, sering kali, ralat, sangat sangat sering sekali sama sekali tidak logis dan tidak masuk akal—seperti merasa ngeri berjalan di atas jembatan kaca yang sebenarnya sangat aman.



Para ilmuwan dahulu berpendapat bahwa kemampuan kita untuk berpikir atau melakukan kognisi adalah apa yang membuat kita manusia berbeda dengan hewan lainnya. Tentu saja dalam perkembangan sains, kita mengetahui bahwa manusia bukan satu-satunya penghuni kingdom animalia yang menunjukkan tanda-tanda kognisi—simpanse dan gorila bisa menunjukkan pemahaman dan perencanaan, burung gagak bisa menggunakan alat, gajah bisa mengajari gajah lainnya. Namun kapasitas kita sebagai manusia dalam berpikir tentunya masih yang paling jawara. Mungkin satu-satunya yang bisa menandingi kapasitas kita dalam berpikir, adalah kapasitas kita dalam salah menilai/men-judge sesuatu. Kita manusia adalah makhluk yang sangat brilian tapi dalam waktu bersamaan juga sangat bodoh.

Bias Kognitif

Salah satu dari banyak hal lainnya yang bisa membuat kita terlihat bodoh—seperti memakai celana di atas kepala ala Shinchan—adalah apa yang disebut dengan bias kognitif. Bias kognitif adalah pola sistematis penyimpangan dari rasionalitas penilaian dimana penilaian terhadap orang lain ataupun situasi menjadi tidak masuk akal. Bias kognitif dapat mempengaruhi kebiasaan dan perilaku kita, seperti ketika kita ngeri berjalan di atas Skywalk, perilaku kita akan terpengaruh, misalnya menjadi berpegangan pada railing dengan lebih kuat, mungkin sampai memeluk orang di samping kita. Bias kognitif dapat menyebabkan distorsi persepsi, penilaian yang tidak akurat, interpretasi yang tidak logis atau tidak masuk akal, sampai pengambilan keputusan yang tidak tepat. Istilah bias kognitif pertama kali dikenalkan oleh Amos Tversky dan Daniel Kahneman pada tahun 1972. Amos Tversky dan Daniel Kaheman beserta kolega mendemonstrasikan dalam penelitian mereka bahwa penilaian dan pengambilan keputusan seseorang sering menyimpang dari teori pilihan rasional (rational choice theory).

Ada ratusan macam bias kognitif dalam berbagai kategori dan terus berevolusi seiring perkembangan zaman. Kita akan membahas beberapa yang paling sering serta mudah ditemui dan media sosial dengan segala tumpahan pikiran-pikiran yang masih hangat-dari-oven tanpa disaring terlebih dahulu itu merupakan etalase utama pemikiran-pemikiran dengan bias kognitif. Di antara tipe-tipe bias kognitif antara lain:

Anchoring Bias

sumber: https://www.towergateinsurance.co.uk/liability-insurance/cognitive-biases

Anchoring Bias atau efek jangkar adalah kecenderungan seseorang mempercayai suatu informasi melebihi informasi lainnya, biasanya yang pertama kali didapat. Tidak hanya percaya, tapi juga bergantung pada informasi tersebut. Pada penelitian mereka di tahun 1974,  Amos Tversky dan Daniel Kaheman menanyakan ke beberapa orang berapa jumlah negara di Afrika yang tergabung dalam anggota PBB. Namun sebelum menjawab, mereka harus memutar roda undian berisi angka-angka dari 0-100 tapi telah diset untuk selalu berhenti pada angka 10 atau 65. Kemudian mereka ditanya berapa banyak negara di Afrika yang tergabung dalam PBB. Hasilnya, mereka yang mendapat angka 10, menjawab tidak jauh dari 10 yakni rata-rata 25%, sedangkan yang mendapat angka 65 menjawab tidak jauh-jauh juga dari 65, yakni rata-rata 45% negara Afrika yang masuk anggota PBB. Dari percobaan tersebut dapat terlihat efek jangkar menjangkiti para subjek. Layaknya jangkar, sekali diturunkan akan susah bergerak jauh dari tempat itu. Seperti para subjek pada percobaan tadi yang susah bergerak jauh dari informasi pertama yang didapat—angka pada roda. Padahal mana mungkin jumlah negara Afrika yang tergabung dalam PBB tergantung dari angka pada roda undian. Itulah anchoring bias.

Pada kehidupan sehari-hari kita juga sering menemui contoh-contoh anchoring bias ini, misalnya jika saya sangat menyukai Star Wars, lalu saya bertemu dengan seorang wanita yang cantik, menarik, baik, pintar, dan menyenangkan, tapi dia tidak suka dengan Star Wars, maka saya tidak suka padanya. Tidak peduli walaupun dia cantik, menarik, baik, pintar, dan menyenangkan bahkan asyik diajak ngobrol, keibuan, rajin menabung, dan pintar memasak sekalipun, saya tidak akan suka padanya. Seberapapun si wanita tersebut memiliki poin-poin positif, akan sulit “menyeret” penilaian saya terhadapnya karena “jangkar” saya sudah diturunkan pada “dia tidak suka Star Wars” titik. Sering kan menemui kasus seperti ini? Penilaian terhadap seseorang hanya didasarkan pada sikap dia pada satu hal tertentu, padahal dia memiliki aspek-aspek lain pada dirinya namun itu tidak dihiraukan dan tidak masuk penilaian.

Confirmation Bias

sumber: chainsawsuit.com

Bias yang satu ini juga sering terjadi dan disebut-sebut sebagai bias yang paling berbahaya. Confirmation Bias adalah kecenderungan seseorang untuk mencari-cari dan hanya melihat pada bukti yang mendukung kepercayaan awal mereka dan mengabaikan bukti yang berlawanan dengan kepercayaan awalnya tersebut. Misalnya karena saya tidak suka kepada wanita yang tidak suka dengan Star Wars tadi, saya menilainya buruk dan mulai mencari-cari kekurangannya. Saya mulai melihat bahwa dia kalau bicara terlalu cepat, kalau jalan terlalu lambat, dan di chat ketawanya “wkwkwkwk”, padahal kita tahu kalau si wanita ini juga memiliki kelebihan-kelebihan yakni dia cantik, menarik, baik, pintar, asik, keibuan, rajin menabung, pintar memasak, serta bersahaja. Tiga kekurangan-kekurangan tadi tentu saja sangat sepele dan kecil dibandingkan dengan kelebihan-kelebihan yang dimiliki si wanita tersebut, tapi karena saya sudah memiliki penilaian yang buruk di awal, saya hanya melihat—dan mencari—bukti-bukti yang mendukung penilaian awal saya bahwa dia tidak menarik (ngomong terlalu cepat, jalan terlalu lambat, ketawa wkwkwk) dan mengabaikan bukti-bukti yang menunjukkan sebaliknya, walaupun jumlahnya jauh lebih banyak dan lebih signifikan sekalipun.

Contoh lainnya banyak kita temui di media sosial terutama pada masa pemilu dan pilkada ini. Ketika seseorang sudah terlalu benci terhadap salah satu calon, dia akan mencari-cari kesalahan dan kekurangan dari calon yang dibencinya tersebut, misalnya dari berita-berita yang mengungkapkan kekurangan dari si calon, serta mengabaikan berita-berita lainnya yang mengungkapkan keunggulan dari si calon yang dibencinya. Dia hanya akan men-share di akun media sosialnya berita-berita yang mengungkapkan kekurangan calon yang dibencinya dan tidak men-share berita yang memuat keunggulan calon tersebut padahal bisa jadi berita yang memuat keunggulan si calon jauh lebih banyak dan dibuat oleh media yang lebih kredibel. Begitu juga sebaliknya, ketika seseorang sudah terlalu suka terhadap salah satu calon, dia cenderung hanya akan mencari-cari dan men-share berita yang memuat keunggulan si calon, mengabaikan berita yang memuat kekurangan si calon, dan bahkan selalu men-share hal-hal yang menjelekkan calon lainnya. Itu semua karena confirmation bias.

Authority Bias

sumber: kapanlagi.com
Authority Bias adalah kecenderungan seseorang untuk menyetujui opini dari orang yang dipandang. Authority bias pada dasarnya sama dengan anchoring bias, tapi alih-alih bergantung pada sebuah informasi, authority bias bergantung pada sebuah sumber informasi. Dengan berkembangnya era digital sekarang, authority bias juga semakin berkembang. Jika dulu orang-orang yang dipandang masih terbatas pada para ahli, pemimpin, atau tokoh masyarakat sekitar saja, di zaman digital di mana informasi bisa tersebar dengan lebih cepat dan luas ini, seseorang bisa menyebarkan pengaruhnya secara lebih global dan tidak terbatas pada lingkungan dekatnya saja. Tidak jarang juga seseorang yang berpengaruh di zaman digital ini bukanlah seorang tokoh masyarakat, politisi, atau pejabat, melainkan seseorang yang memiliki banyak followers di media sosial. Akhirnya muncullah selebtweet, selebask, selebgram, blogger, artis youtube, dan tokoh-tokoh lain di media sosial yang memiliki pengaruh yang besar. Authority bias-pun dapat menjangkiti followers dan fans dari orang-orang tersebut ketika mereka selalu mendasarkan pendapat mereka berdasarkan pendapat dari idolanya tanpa disaring terlebih dahulu.

Contohnya ketika suatu fanpage di facebook membuat post yang menunjukkan ketidaksetujuan bahkan kebenciannya terhadap seseorang atau suatu kelompok, followers dari fanpage tersebut langsung juga membenci seseorang atau kelompok tersebut, tanpa terlebih dahulu mencari tahu informasi tentang duduk perkara dan siapa orang atau kelompok yang dimaksud. Akhirnya mereka langsung men-share postingan itu sambil dikomentari dengan nada membenci yang sama. Familiar?

Blind Spot Bias

Blind spot bias adalah ketika seseorang bisa menemukan bias dari orang lain, namun sering luput akan bias-biasnya sendiri. Contohnya seperti yang dari tadi saya lakukan. Saya selalu mencontohkan “sering lihat orang-orang di media sosial” padahal saya sendiri tidak bisa melihat bias-bias yang saya lakukan yang mungkin saja saya juga melakukan hal yang sama. Blind spot bias ini dialami karena memang sangat sulit untuk menemukan bias pada diri sendiri, jauh lebih sulit dari melihat bias orang lain.

Masih sangat banyak tipe-tipe bias kognitif yang lainnya, pengelompokannya bisa dilihat pada infografis yang dibuat oleh John Manoogian III berikut ini. (klik untuk membuka gambar dalam ukuran penuh).

sumber: https://betterhumans.coach.me/cognitive-bias-cheat-sheet-55a472476b18#.f377xzgwz

Dari contoh-contoh tersebut bisa dilihat bahwa bias kognitif, pada tingkat lanjut bisa mempengaruhi perilaku seseorang, bahkan perilakunya yang berkaitan dengan kehidupan sosial, dan bisa saja perilaku-perilaku kurang menghargai, suka men-judge, reaktif, intoleransi, dan sering menyebar berita bohong atau hoax yang selama ini banyak kita lihat di masyarakat, salah satu faktornya disebabkan oleh bias kognitif. Jangan heran juga kalau banyak orang-orang yang kita kenal hebat, cerdas, berwawasan, tapi masih sering melakukan tindakan-tindakan seperti itu. Karena pada dasarnya, bias kognitif dimiliki oleh semua orang. Tidak ada seorangpun yang luput dari bias kognitif. Ini karena bias kognitif juga dibutuhkan oleh otak kita dalam pengambilan keputusan. Ketika kita akan mengambil keputusan, otak kita tidak mempertimbangkan segala informasi yang pernah kita dapat, karena pasti akan sangat lama dan sangat ribet. Bias kognitif membuat otak kita hanya mempertimbangkan informasi-informasi tertentu saja agar dapat mengambil keputusan dengan cepat. Ini sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan di mana kecepatan lebih utama dari ketepatan. Namun untuk masalah ketepatan, seperti kita lihat di contoh-contoh di atas, bias kognitif sering membuat penilaian kita melenceng dan tidak rasional. Maka kita harus melawan bias kognitif kita—minimal mengenali—jika tidak ingin terjebak dalam lingkaran setan pengambilan keputusan yang tidak bijak.

Debiasing

sumber: http://www.smacc.net.au/wp-content/uploads/2015/12/croskerry-thinking-straight.jpg

Proses melawan bias ini biasa disebut dengan debiasing. Ini bisa dilakukan dengan membiasakan beberapa hal, misalnya untuk melawan anchoring bias, biasakan untuk menganalisa sesuatu dengan lebih lama, jangan terpaku pada first impression; atau ketika berhadapan dengan masalah yang kompleks, biasakan mempertimbangkan dengan me-list pro dan kontra. Untuk melawan confirmation bias, bisa dimulai dengan menyadari bahwa kita (tidak) ingin suatu teori menjadi benar; jangan takut bila salah; carilah orang yang memiliki opini yang berlawanan dengan kita, lalu cari tahulah apa yang membuat mereka berpikir seperti itu; selalu aktif mencari informasi dari kedua sisi terutama dari sisi yang berlawanan dengan yang kita percayai, misalnya kita ingin mempertimbangkan menjalani pengobatan alternatif, selain mencari keyword “kenapa pengobatan alternatif adalah pilihan yang tepat” di google, cari jugalah “kenapa pengobatan alternatif adalah pilihan yang tidak tepat” agar keputusan yang diambil tidak berdasarkan confirmation bias. Sementara untuk melawan blind spot bias, pengetahuan dasar akan apa itu bias kognitif (seperti artikel ini) bisa membantu; juga biasakan untuk menanyakan pada orang lain apakah kita sedang bias.

Jadi, pikiran kita memiliki kemampuan intelektual yang sangat luar biasa dan dalam waktu yang bersamaan juga dapat berbuat kesalahan yang luar biasa. Kita bisa memecahkan masalah lebih baik dari organisme manapun di planet ini, tapi penilaian kita terhadap hal-hal kecil sederhana setiap harinya bisa jadi sangat kacau dengan adanya bias. Namun dengan menyadari kemungkinan otak kita untuk melakukan kesalahan, sambil tetap menghargai potensi pikiran kita dan selalu berusaha untuk lebih berkembang, kemampuan kita dalam memecahkan masalah bisa jadi tidak terbatas. Dan itu memberi kita harapan.

ENJOY YOUR DAY!

Tulisan ini pernah dimuat di majalah SOLID Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Edisi 54. Diposting kembali dengan penambahan dan penyesuaian.

Referensi:

Kahneman, Daniel. 2013. Thinking, Fast and Slow. 2013. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Cognitive Debiasing- Thinking Straight by Pat Croskerry | http://www.smacc.net.au/2015/12/cognitive-debiasing-thinking-straight-by-pat-croskerry/
Critical Thinking - Cognitive Biases: Alief | https://www.youtube.com/watch?v=TCBALVumrUQ
Critical Thinking - Cognitive Biases: Anchoring | https://www.youtube.com/watch?v=NFiDdbquWJY
Critical Thinking - Cognitive Biases: G.I Joe Fallacy | https://www.youtube.com/watch?v=sO9xwAyeWX0
How Cognitive Biases Affect Our Everyday Decisionshttps://www.towergateinsurance.co.uk/liability-insurance/cognitive-biases

Ditulis oleh Ramy Dhia
Seorang mahasiswa arsitektur yang mencintai dunia desain, teknologi, pop culture, dan penulisan. Ngeblog sejak 2010 dan mulai ngeVlog di Youtube sejak 2014. Hobi nonton TV Series dan merupakan pemain abadi dari game Harvest Moon: Back to Nature.
NB: Bercita-cita ingin menguasai dunia.


You Might Also Like

5 comments

  1. tulisan yg sangat bagus & bermanfaat sekali...harus dibaca banyak orang nih...

    BalasHapus
  2. Ah...
    Panjang sekali artikelnya...
    Jadi males baca.. wkwkwk

    BalasHapus
  3. Contoh2 yang diberikan sangat membantu untuk memahami materi. Bahasanya juga asik! Thank you :)

    BalasHapus
  4. Bias kognitif ini kelihatanya kalo buat marketing mantep nih...

    Siyaapp , insyaAlloh akan saya aplikasikan untuk membuat strategi marketing yang lebih baik

    BalasHapus

Page Ranking Tool
DMCA.com

I'm in

postimage
Mutsurini Team
Komunitas Online Kab.Tangerang Warung Blogger