Lamunan Kereta Api
1/19/2018Sudah empat tahun lebih kereta api menjadi sarana transportasi gue untuk bolak-balik dari Jakarta ke Malang. Kereta api bagi gue adalah moda transportasi ideal karena biayanya yang murah dan ketepatan waktunya. Tentu saja pesawat memiliki waktu tempuh yang jauh lebih cepat, tapi dengan harga yang berkali lipat juga. Bus antar provinsi juga menjadi pilihan transportasi murah lainnya, tapi waktu tempuh kadang kala tidak sepasti kereta karena bisa terjebak macet dan lain sebagainya. Maka, kereta api adalah gacokan gue setiap musim liburan. Namun, kereta api gak selalu sedisiplin dan setertib sekarang. Jaman dulu, naik kereta api ekonomi sama dengan harus bergelut berdesak-desakan dengan banyak manusia lainnya, bahkan dengan non manusia seperti ayam??? Ada yang berdiri, bergelantung, sampai duduk di atap. Beruntung saat gue mulai membutuhkan kereta api untuk perjalanan jauh dari Jakarta ke Malang, PT KAI sudah berbenah sehingga naik kereta api sekarang, bahkan yang kelas ekonomi sekalipun, tetap nyaman.
Tapi bagaimana dengan masa jauh sebelum itu? Ketika kereta api baru pertama hadir. Apa sebenarnya arti kereta api bagi peradaban kita? Kereta api adalah anak kandung dari revolusi industri, dan merupakan anak yang paling dekat kehadirannya dengan semua orang dari semua kalangan pada masa itu. Ketika revolusi industri hadir, mungkin kalangan pekerja di pabrik sangat merasakan dampaknya karena pabrik mulai dipenuhi oleh alat-alat berat yang sebelumnya tidak ada. Tapi bagi para petani, pedagang, atau kelas menengah atas yang tidak menghabiskan waktu bersama mesin-mesin tersebut? Kereta api adalah penanda revolusi industri yang mereka lihat langsung. Bahkan melihat rel nya saja membelah persawahan dan padang rumput sudah bisa mengingatkan bahwa mereka telah berada pada zaman yang sama sekali berbeda dengan orangtua dan kakek-nenek mereka.
Karena kehadiran kereta api banyak mempengaruhi kehidupan kelas menengah atas yang senang menulis, kita bisa mendapatkan gambaran bagaimana perubahan yang dibawa kereta api tersebut melalui tulisan-tulisan mereka, dan ternyata kereta api membawa perubahan yang cukup radikal.
Kerata api mengecilkan dunia menjadi sebesar daun kelor dengan membuat waktu perjalanan yang jauh lebih singkat namun sekaligus juga mengekspansi ruang dengan adanya kota-kota baru yang terbentuk akibat pembuatan rel kereta api dan membuat tempat-tempat yang tadinya tidak bisa diakses menjadi terjangkau. Konsekuensi lainnya adalah hal-hal terkait perjalanan kereta api seperti sistem penjadwalan dan manajemennya diciptakan. Bahkan kereta api juga secara harfiah telah mengubah waktu atau setidaknya membuat standarisasi waktu. Sebelum hadirnya kereta api, waktu di London lebih awal 4 menit dari Reading, dan lebih awal 14 menit dari Bridgwater, kemudian pada tahun 1847, The Railway Clearing House--sebuah organisasi yang meregulasi perjalanan kereta api--menetapkan Greenwich Mean Time atau GMT yang merupakan waktu standard untuk semua stasiun kereta api. Pada tahun 1880, GMT menjadi waktu standar di Inggris, dan sampai sekarang masih dipakai sebagai patokan waktu standard di seluruh dunia. Misalnya waktu Indonesia Bagian Barat adalah GMT + 7 artinya lebih awal 7 jam dari waktu Greenwich.
Beberapa pujangga menganggap perjalanan dengan kereta api sebagai "hilangnya hubungan komunikasi antara manusia dengan alam". Dan beberapa menganggap, perjalanan non-mekanikal seperti menggunakan kuda, sebagai perjalanan yang lebih berjiwa. Perjalanan kereta api juga mengubah persepsi orang dalam melihat dunia, jika sebelumnya perjalanan dengan kuda kita bisa merasakan betul bagaimana kita dan kuda kita bergerak melewati bentangan alam, di dalam kereta, seakan-akan kita melihat alam yang bergerak dengan sangat cepat melalui jendela kereta yang diam. Mungkin ini juga turut mempersiapkan orang-orang pada masa itu akan kehadiran televisi dan film, dimana kita terbiasa melihat layar yang statis dan ada dunia yang bergerak di dalamnya.
Seperti yang Victor Hugo ungkapkan pada 1837, "The flowers by the side of the road are no longer flowers but fleck, or rather streaks of red and white, there are no longer any points, everything becomes a streak". Namun tidak semua orang melihat pemandangan dari jendela kereta sebagai lansekap blur yang monoton, beberapa menganggapnya sebagai pengalaman yang baru dan menyenangkan, Benjamin Gastano misalnya, mengungkapkan, "in quick succesion it presents the astonished traveler with happy scenes, sad scenes, burlesque interludes, brilliant fireworks, all visions that disappear as soon as they are seen". Kalau bagi gue sih, liat pemandangan lewat jendela kereta asik-asik aja sebelum lu gak sengaja liat orang boker di pinggir kali. Gue pernah.
Dan perjalanan kereta juga mengubah perilaku orang. Karena melihat pemandangan ke luar jendela sudah bukan pengalaman yang sama lagi, dan berdasarkan jurnal kesehatan The Lancet, "the rapidity and the variety of impressions necceseraly fatigue both the eye and the brain", banyak orang beralih ke membaca buku atau koran di atas kereta. Membaca kadang memang cara kelas atas untuk menghindari percakapan dengan orang lain, dan gerbong kereta api eropa didesain menyerupai desain tempat duduk di kereta kuda dimana kita berhadapan dengan orang lain. Nah, namun di masa sebelum kereta api, kita tahu kita akan "terjebak" dalam waktu yang lama dengan penumpang lain di kereta kuda itu sehingga penting untuk menjadi ramah dan coba menginisiasi percakapan, tapi waktu tempuh yang jauh lebih singkat dari perjalanan kereta api membuat orang malas untuk saling ngobrol antar penumpang, akhirnya mengubah kebiasaan dan membuat membaca di atas kereta sebagai sebuah kewajaran, atau bahkan keharusan.
Naik kereta api untuk pertama kali juga membawa perasaan takut baru, ketika kita melaju dengan kecepatan tinggi, susah untuk tidak memikirkan tentang kemungkinan kereta bakal anjlok, seperti Thomas Previ tulis "it is really flying, and it is impossible to divest yourself of the notion of instant death to all upon the least accident happening". Sebelum akhirnya perasaan takut itu berangsur-angsur menghilang dan digantikan dengan perasaan aman karena sudah merasa familiar.
Mungkin bisa dibilang, kehadiran internet sebagai sebuah teknologi juga kurang lebih sama dengan kehadiran kereta api untuk pertama kali. Seperti kereta api, internet pada awal kemunculannya juga menyeramkan bagi Seperti kereta api, internet membuat dunia seperti cuma sebesar daun kelor, membuat yang jauh di belahan dunia lain bisa berkomunikasi dan terasa dekat. Seperti kereta api, internet mengubah persepsi kita akan waktu. Bagaimana ketika chat belum dibales gebetan beberapa menit saja kita merasa bahwa itu lama banget, padahal coba pikir zaman sebelum internet ketika orang masih surat-suratan, bisa berhari-hari bahkan berminggu-minggu surat baru sampai dan dibalas. Dan seperti banyaknya nostalgia tentang masa sebelum kereta api, ada banyak pula nostalgia tentang masa sebelum keberadaan internet, yang katanya sebelum internet, kita lebih banyak bersosialisasi dan berinteraksi satu sama lain karena kita tidak selalu melototin smartphone kita. Namun melihat bagaimana kebiasaan membaca di dalam kereta mulai muncul, setidaknya kita tahu ternyata kita sudah menggunakan hadirnya teknologi baru sebagai alasan untuk menghindari berinteraksi dengan orang lain dari dulu.
Kadang gue merasa, mempelajari sejarah tidak melulu harus mempelajarinya agar kita bisa belajar dari masa lalu. Tapi terkadang penting juga mempelajari sejarah, semata-mata untuk merasakan menjadi orang yang berada pada masa itu, mencoba mengerti dan merasakan bagaimana rasanya melihat mesin besar dan aneh bernama kereta api untuk pertama kali, naik kereta api untuk pertama kali, dan bagaimana kereta api tersebut akhirnya mengubah cara pandangnya, kebiasaannya, dan akhirnya mengubah hidupnya. Dengan begitu, mungkin akan sedikit memberi gambaran bagaimana teknologi-teknologi baru di masa depan nanti akan mengubah hidup kita.
ENJOY YOUR DAY!
1 comments
A colleague of mine is right in my opinion. You described it well, thanks for the help!
BalasHapusLolita