Apa Penting Ikut Organisasi Saat Kuliah?

10/01/2017



Masih ingat betul di ingatan saya apa isi pidato Presiden Eksekutif Mahasiswa di upacara penyambutan mahasiswa baru tiga setengah tahun silam. Sesuatu tentang "mahasiswa kupu-kupu dan mahasiswa kura-kura". Oke, mungkin gak ingat betul, tapi intinya tentang itu. Pak presiden menyerukan kepada adik-adik barunya kalau jadi mahasiswa jangan cuma jadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang), jadilah mahasiswa kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat). Mahasiswa kupu-kupu digambarkan seperti kupu-kupu, indah (nilainya) dan bisa terbang cepat (menuju kelulusan). Mahasiswa kura-kura, seperti layaknya kura-kura, sering digambarkan sebagai sosok yang lambat (lulusnya). Namun walau lambat, menjadi mahasiswa kura-kura bisa mendapat manfaat yang jauh lebih banyak dan berharga daripada mahasiswa kupu-kupu (katanya). Ternyata sepanjang perkuliahan, dikotomi ini sering sekali disampaikan dalam pelbagai kesempatan, terutama oleh para mahasiswa aktivis organisasi. Kupu-kupu dan kura-kura rasa-rasanya sudah hampir mengalahkan kucing-anjing, tikus-kucing, atau singa-hyena dalam kompetisi menjadi duo binatang paling dikenal seantero negeri. Namun, karena  yang sering menyampaikan dikotomi kupu-kupu dan kura-kura ini adalah dari kalangan mahasiswa kura-kura, sering kali penyampaiannya diiringi lenguh-sarkas, senyum-nyinyir, atau tatap-menghakim terhadap golongan 'kupu-kupu'. Tujuannya cuma satu: untuk menekankan pentingnya berorganisasi.

Namun apakah berorganisasi kala kuliah itu memang benar penting?

Sudah barang tentu, jika kita memilih untuk mengikuti organisasi, ada biaya peluang (opportunity cost) yang harus dibayar, yakni waktu dan tenaga, dimana keduanya itu bisa digunakan untuk hal-hal lainnya, termasuk mengerjakan tugas-tugas kuliah dan kepentingan akademik lain. Inilah yang menjadi pertimbangan utama orang memilih untuk tidak berorganisasi: takut performa akademiknya terganggu. Tak bisa disalahkan juga karena ada kalanya IPK yang kinyis-kinyis menjadi prasyarat, misalnya untuk mendapatkan beasiswa.

Langsung pulang setelah kuliah (baca: terlihat pulang karena tidak ikut kumpul dengan teman-teman organisasi) juga sebenarnya tidak selamanya buruk dan nirfaedah. Bisa saja Karyo terlihat langsung pulang setelah kuliah, tapi siapa yang tahu kalau di rumahnya dia kerja remote dengan karir yang cemerlang. Bisa saja Mafu'ah tak tertarik organisasi, tapi siapa yang tahu kalau di rumahnya dia sibuk membuat artwork karena kebanjiran komisi dari luar negeri lewat akun deviantart-nya dan dengan itu bisa membiayai kuliahnya sendiri tanpa duit orangtua. Bisa saja Cecep tak pernah ikut kepanitiaan karena dia sudah cukup disibukkan sebagai narablog kenamaan yang sering diminta mengisi talkshow. Di zaman dihital seperti sekarang ini, banyak sekali hal yang bisa kita lakukan dari rumah. Banyak sekali pekerjaan yang bisa dilakukan di zaman ini, yang sebelumnya tidak ada dan tidak pernah terpikirkan. Mungkin zaman dulu wajar saja ketika kita menganggap orang yang langsung pulang setelah kuliah, "tidak punya apa-apa" selain akademis, tapi di era informasi dengan segala kemungkinan dan kesempatan ini, langsung menghakimi seperti itu kepada para kupu-kupu rasa-rasanya sudah tidak relevan lagi.

Dari aspek sosial yang sering dibanggakan anak 'kura-kura' pun, jangan dikira anak 'kupu-kupu' era digital tidak bisa mendapatkannya lewat media sosial, komunitas-komunitas daring, sesekali hadir di acara kopi darat dan bertemu orang sehobi dengan pelbagai latar belakang. Bahkan kegiatan-kegiatan sosial seperti penggalangan dana dan relawan, kerap kali diawali dari petisi daring (baca: bisa dilakukan dari rumah).

Namun selama empat tahun kuliah, saya melihat, terkadang tidak selalu seperti itu adanya. Memang logikanya, jika kita tidak mengikuti organisasi, kita akan memiliki lebih banyak waktu untuk mengerjakan tugas, tapi ternyata, mereka yang tidak ikut organisasi juga masih banyak yang tugasnya keteteran. Tak terhitung berapa kali saya mendengar kawan-kawan saya bermunajat, "duh semester depan gak mau ikut apa-apa deh, mau fokus ke kuliah buat perbaiki nilai". Eh ketika mereka sudah tidak ikut apa-apa pun, tetap saja empot-empotan. Menghilangkan variabel organisasi atau kegiatan non-akademik dalam kehidupan kemahasiswaan kita, ternyata tidak serta-merta akan menaikkan aspek akademiknya. Sebaliknya, banyak juga yang selalu aktif organisasi, memegang posisi-posisi penting di kepanitiaan, tapi tetap prima di sisi akademik, tugas selalu selesai, IPK tinggi serta kulit berseri-seri tanpa kantung mata sama sekali.

Sebenarnya ini konsisten dengan apa yang disebut sebagai Parkinson's Law. Dalilnya, "suatu pekerjaan akan membengkak (dalam perspepsi) untuk memenuhi waktu yang tersedia untuk mengerjakannya". Jadi jika kita dikasih tugas kuliah dan memiliki waktu tiga hari senggang untuk mengerjakannya, pekerjaan itu akan membengkak sedemikian rupa sehingga akhirnya diselesaikan dalam waktu tiga hari, walaupun sejatinya tugas itu bisa selesai hanya dalam waktu tiga jam saja. Pada akhirnya akan sama saja dengan orang yang mengerjakannya 3 jam sebelum deadline.

Maujud dari pembengkakan itu bisa berupa penunda-nundaan, keasikan nyimak drama A'a Utap vs Rando, atau scroll-scroll kolom komentar Lambe Turah. Kalau akhirnya pekerjaan yang dikerjakan dengan alokasi waktu tiga hari pun sama saja dengan yang alokasi waktu tiga jam, bukankah dua hari 19 jam sisanya lebih baik dimanfaatkan untuk selain mengerjakan tugas itu? Ikut organisasi, misalnya. Akhirnya, cara untuk memanfaatkan waktu semaksimal mungkin bukannya dengan mengurangi kegiatan, tapi malah mengalokasikan waktu yang pas untuk kegiatan-kegiatan tersebut.

Bersosial di organisasi juga memberi kita keuntungan dibanding hanya bersosial melalui internet. Internet memberi kemerdekaan bagi kita untuk memilih sendiri lingkaran pergaulan yang ingin kita masuki. Kalau kamu suka Petualngan Sherina, misalnya, tinggal klik subforum Penggemar Petualangan Sherina dan bisa ngomongin fakta-fakta tentang Petualangan Sherina sepuasmu yang mungkin tidak akan selalu bisa dengan teman-teman dunia nyata. Dan kemungkinan, seisi subforum akan memiliki pemikiran yang sama juga, karena semuanya suka Petualangan Sherina. Dikelilingi oleh orang-orang yang sepemikiran membuat kita nyaman dan akhirnya kita hanya mau dikelilingi oleh orang-orang yang sepemikiran saja. Ini disebut Cyberbalkanization, ketika internet terbagi menjadi grup-grup dengan ketertarikan yang sama sampai pada tingkat grup-grup tersebut enggan menerima pendapat yang bersebrangan dengan pendapat mereka. Contohnya, subforum yang berisi para penggemar Petualangan Sherina cenderung tidak akan menerima pendapat orang luar yang bilang Petualangan Sherina jelek (lagian, orang tak berbudaya macam apa yang gak suka Petualangan Sherina, hah!? eh... tuh kan).

Ini juga terjadi di media sosial kita, ketika algoritma facebook hanya menampilkan status dari orang-orang yang "dekat" dengan kita. Definisi "dekat"-nya facebook adalah orang yang sering berinteraksi dengan kita di facebook, seperti jika kita sering memberi like dan komentar di statusnya. Karena biasanya status yang kita like adalah yang sepemikiran dengan kita, lama kelamaan, timeline facebook kita isinya hanya status-status yang sepemikiran dengan kita. Akhirnya, kita tidak dapat asupan perspektif lain dan terbentuklah apa yang disebut Echo Chamber, sebuah ruang gema yang kedengerannya memang suaranya banyak, tapi sesungguhnya hanya gema-gema dari suara yang “sama”.

Jangan salah, dikelilingi oleh orang-orang yang sehati, sepemikiran, dan share the same value and world view tentunya memiliki pengaruh yang positif, bahkan bisa membuat kita bahagia. Yang perlu diingat adalah, dunia nyata tidak selalu seperti itu. Ia beragam, berwarna-warni, dan penuh dengan orang-orang dengan pemikiran yang berbeda-beda. Orang yang tidak terbiasa berhadapan dengan orang yang berbeda pandangan dengannya, akan kesulitan meng-handle perbedaan itu, laiknya seorang jomblo yang tak pernah bergaul, akan gelagapan ketika berhadapan dengan Chelsea Islan.
Organisasi adalah tempat yang pas untuk membiasakan diri berhadapan dengan orang yang berbeda pikiran.

Walaupun memiliki tujuan yang sama, orang-orang di dalam organisasi pastinya memiliki pemikiran yang berbeda-beda untuk mencapai tujuan tersebut. Di dalam organisasi yang sehat, pemikiran yang berbeda-beda tersebut akan dibenturkan satu sama lain lewat diskusi-diskusi atau rapat. Ini sangat baik untuk berlatih berhadapan dengan orang yang memiliki pemikiran yang berbeda, menjadi pendengar yang baik, mencoba memandang sesuatu lewat perspektif orang lain, sampai akhirnya mempertimbangkan kembali pendapat kita berdasarkan informasi baru tersebut. Tentu saja dalam prosesnya, sering kali diskusi menjadi panas dan tensi menjadi tinggi, tapi semua itu akhirnya menjadi bagian dari pembelajaran bagaimana mengkomunikasikan perbedaan itu dengan apik.

Salah satu kemewahan dalam mengikuti organisasi adalah kita bisa bertengkar tanpa rasa benci.

Artinya, dalam rapat dan diskusi boleh saja berdebat panas dengan orang yang berbeda pandangan dengan kita, tapi tidak sampai menimbulkan kebencian terhadap orang tersebut. Ketika rapat atau diskusi selesai, kita bisa ngopi dan ketawa-ketawa bareng lagi, karena semuanya sadar bahwa yang kita adu gagasan kita, bukan pribadi. Dalam tatanan personal, kita tetap saudara. Pendewasaan seperti inilah yang bisa kita dapatkan di iklim organisasi yang sehat, dan akhirnya akan membentuk pola sikap kita jika berhadapan dengan orang yang berbeda pemikiran di kehidupan bermasyarakat.

Maka dari itu, ketika Suparjo berhadapan dengan orang yang beda pendapat dan langsung menganggap orang itu salah, mencap macam-macam, bahkan ngata-ngatain dan ngamuk-ngamuk, saya rasa, bukan berarti Suparjo orang jahat, kesetanan, atau habis nenggak pil PCC. Mungkin saja itu hanya bentuk “gelagapan”-nya karena dia tidak terbiasa diskusi, tidak terbiasa masuk ke dalam perspektif orang lain, dan tidak terbiasa menghormati pendapat yang berbeda dengan pendapatnya, atau bahasa kerennya agree to diasgree. Karena Suparjo terlalu lama dan terlalu nyaman berada dalam  Echo Chamber nya dimana semua orang sependapat dengan dirinya.

Ironisnya, seperti yang sempat disinggung di awal, masih ada di antara anak-anak organisasi yang men-judge orang yang tidak ikut organisasi atau para kupu-kupu. Keorganisasian akhirnya malah menjadi Echo Chamber lainnya yang mensirkulasikan suara-suara seragam dari para aktivis ini. Bahkan suara-suara dari kupu-kupu sering dianggap tidak relevan karena dirasa tidak memiliki kompleksitas pemikiran yang setara dengan para kura-kura dan semuanya dipukul rata sebagai “apatis”. Pendapat apatis tidak relevan karena dia sendiri saja tidak mau “terjun langsung”. Kalau kamu anak organisasi dan masih mikir gini, duh, kopimu kurang hitam.

Poinnya adalah, mengurangi kegiatan non-akademis belum tentu akan membuat nilai akademis bertambah dan mengikuti organisasi kemahasiswaan bisa menjadi pilihan yang worth it karena bisa mengasah aspek sosial dalam membiasakan diri menghadapi orang dengan pandangan yang berbeda-beda. Jika kamu sedang galau apakah ingin ikut organisasi atau tidak, cukup ingat bahwa di zaman sekarang kura-kura bukanlah hewan paling superior di kampus, kupu-kupu di era digital, atau bahkan kuda-kuda (kuliah-dakwah kuliah-dakwah) bisa sama bahkan lebih bermanfaat daripada kura-kura. Jika kamu rasa bisa mendapat manfaat organisasi yang sudah dijelaskan tadi dari tempat lain yang lebih kamu senangi, silahkan saja. Apapun yang kamu pilih, ketahuilah bahwa kamu berhak menentukan pilihan itu. Kan udah gede.

ENJOY YOUR DAY!

Ditulis oleh Ramy Dhia
Seorang mahasiswa arsitektur yang mencintai dunia desain, teknologi, pop culture, dan penulisan. Ngeblog sejak 2010 dan mulai ngeVlog di Youtube sejak 2014. Hobi nonton TV Series dan merupakan pemain abadi dari game Harvest Moon: Back to Nature.
NB: Bercita-cita ingin menguasai dunia.


You Might Also Like

5 comments

  1. Sekarang gue lagi semester 7, bagian membanggakannya adalah: gue pernah jadi kupu-kupu selama 2 tahun dan kura-kura selama setahun terakhir dan setengah tahun kedepan. Rasanya beda banget, tapi dua-duanya beneran punya plus minusnya masing-masing. Waktu jadi kupu-kupu gue sempet magang di salah satu website. Haha.

    Udah gitu doang sih, numpang curhat aja :p

    BalasHapus
  2. aku pas kuliah pasif banget
    soalnya ga bisa motoran, jadi klo ikut organisasi pulang malem ya maana aada angkot
    padahal dulu sma aktif banget di pmr sama mpk
    agak nyesel sih pas ngisi CV ga ada organisasi apapun heuheu

    BalasHapus
  3. dulu jaman kuliah,gak pernah ikt organisasi, mals krn kalau rapat bertele2 dan ngaret tersu, kalau aku suka kegiatan di luar kampus yg bisa mengasahj bakat dan hobi aku

    BalasHapus
  4. Semester ini gue lagi dalam mode kupu-kupu. Semester kemarin jadi mahasiswa kukar (kuliah-kantor-kuliah-kantor). Memang kerasa sih bedanya. Pas jadi mahasiswa kupu-kupu itu rasanya waktu banyak yang terbuang sia-sia. Mau ngapa-ngapain juga males. Pas jadi mahasiswa kuker, yang setiap selesai kelas langsung ke kantor, waktu nggak terbunag sia-sia. Malah cenderung asing karena di kantor bisa berdiskusi soal strategi pemasaran yang baik. Untuk organisasi sendiri.. belum pernah ikut. Waktu itu pernah mau ikut, tapi karena gue lupa konfirmasi ingin masuk divisi apa, otomatis nama gue di coret karena udah kehabisan waktu. Hehehe

    Dan gue setuju dengan poin-poin di atas.

    BalasHapus
  5. ya begitulah, masing 2 ada plus minusnya, pada intinya adalah memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dan saling menghargai satu sama lain (ga asal judge)

    BalasHapus

Page Ranking Tool
DMCA.com

I'm in

postimage
Mutsurini Team
Komunitas Online Kab.Tangerang Warung Blogger