Creative Destruction dan Tawuran Supir Taksi

3/25/2016

sumber gambar: mashable.com

Film Captain America: Civil War baru kelaur di bioskop Indonesia bulan Mei mendatang, tapi suasana civil war sedikit banyak sudah dirasakan di Jakarta pada Selasa (22/3) kemarin. Ini berawal dari demo para supir taxi menuntut penutupan jasa transportasi berbasis aplikasi, Uber dan Grabtaxi. Pasalnya, semenjak kehadiran dua aplikasi tersebut, pendapatan taxi konvensional menurun drastis akibat penumpang lebih memilih jasa taxi berbasis aplikasi. Akhirnya para supir taxi pun melakukan demo besar-besaran menuntut pemerintah menutup Uber dan Grabtaxi karena tidak mengikuti aturan tentang kendaraan angkutan umum. Demo yang diikuti sekitar 10.000 supir taxi se-Jabodetabek dari berbagai perusahaan, di antaranya BlueBird dan Express ini berakhir rusuh ketika pendemo men-sweeping jalan dan mencegat taxi-taxi yang masih beroperasi dan memaksa rekan sejawat mereka itu untuk tidak beroperasi dan menurunkan penumpangnya di tengah jalan. Tak jarang mobil dirusak dan supir kena bogem pula. Tak hanya rekan sejawat yang “tak solid” yang jadi sasaran para pendemo, pelaku jasa transportasi berbasis aplikasi lain seperti Gojek pun “kecipratan” kegaharan para supir taxi, seorang pengemudi gojek sempat jadi bulan-bulanan. Lantas hal ini membuat pengemudi Gojek lainnya panas, tak terima rekan satu aspal mereka dihantemi, para pengemudi gojek secara masif melakukan mobilisasi ke tempat para pendemo layaknya para siswa Suzuran menuju sekolah Housei untuk membantu Genji di film Crows Zero II *soundtrack: Into The Battlefield*. Pertempuran antara ranger biru (supir taxi) dan ranger hijau (gojek) pun tak dapat dihindari. Jalanan menjadi medan tawuran antara kedua kubu.

sumber gambar: kompas.com

Apa yang kita lihat di Jakarta kemarin adalah salah satu dampak ekstrim dari apa yang biasa disebut dengan creative destruction. Istilah ini dipopulerkan pada tahun 1950an oleh seorang ekonom berkebangsaan Austria Amerika, Joseph Schumpeter. Creative Destruction adalah ketika terjadi perubahan tatanan ekonomi yang mengakibatkan hancurnya pelaku ekonomi lama karena munculnya pelaku baru yang memilki keunggulan yang lebih “kreatif” sebagai senjata utamanya. Dalam hal ini, taxi konvensional seperti Bluebird dan Express “dihancurkan” oleh penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi seperti Uber dan Grabtaxi dengan inovasinya yang berhasil merebut hati konsumen. Proses ini sudah terjadi berkali-kali dalam sejarah kita, dari hilangnya mata pencaharian para pemburu paus (ya, pemburu paus seperti kapten Ahab di cerita Moby Dick) karena permintaan minyak paus semakin berkurang karena sudah mulai dilakukan pengeboran-pengeboran minyak bumi. Pengeboran di darat memiliki resiko dan biaya yang lebih minim dibandingkan berburu paus di laut, akibatnya harga minyak bumi jauh lebih murah dan konsumen lebih memilih minyak bumi dibandingkan minyak paus untuk bahan bakar penerangan lampu minyak mereka, akhirnya semakin banyak orang bisa menggunakan pencahayaan lampu minyak di malam hari, setelah sebelumnya hanya kalangan atas saja yang dapat menikmati cahaya lampu di malam hari karena harga minyak paus yang mahal. Sampai dengan bangkrutnya pelaku industri batik tulis Pekalongan pada tahun 1970an akibat semakin maraknya batik cap yang dapat dicetak dengan mesin dan mengakibatkan harga yang jauh lebih murah dan beralihnya konsumen ke batik cap. Creative destruction selalu memainkan perannya di tiap zaman, apalagi di zaman digital seperti sekarang dimana kemungkinan inovasi seakan tak terbatas dan konsumen memiliki lebih banyak pilihan. Konsumen tentunya diuntungkan dengan proses ini, karena akan semakin banyak pilihan yang lebih menguntungkan, tapi dibalik itu akan selalu ada pelaku lama yang dikorbankan.

lukisan Oswald Walters Brierly yang menggambarkan suasana perburuan paus

Dari sisi konsumen, tentunya sangat logis jika lebih memilih layanan yang lebih menguntungkan bagi mereka. Jika disuruh memilih antara taxi konvensional dengan harga yang mahal, armada mobil yang sudah uzur, supir yang sering (sok) nyasar, apalagi sering menolak penumpang dengan alasan macet yang sakitnya melebihi dari rasa sakit ditolak gebetan (eh ralat, ditolak gebetan lebih sakit dari ditolak supir taxi, tapi tetap saja ngeselin) dibandingkan dengan Uber atau Grab dengan armada mobil baru yang masih kinyis-kinyis, nyaman, dan wangi, supir yang ramah (karena menerapkan sistem rating, jika tak ramah tinggal kasih rating jelek), tidak takut disasar-sasarin karena dipandu oleh Google Maps, dijemput di tempat kita berada tidak perlu berpanas-hujan untuk mencegat di pinggir jalan, serta tarif yang jauh lebih murah, maka rasanya wajar jika konsumen lebih memilih Uber atau Grab. Era digital memang membuat perusahaan-perusahaan yang selama ini mengandalkan monopoli dan oligopoli kegerahan. Betapa tidak, selama ini dengan pelayanan seadanya tanpa memikirkan konsumen, tidak terlalu mempengaruhi pemasukan karena konsumen tidak punya pilihan lain. Begitu hadir inovasi yang memberikan pillihan-pilihan lain bagi konsumen, baru sadar betapa pentingnya mendengarkan keluhan konsumen selama ini.

Merengek kepada pemerintah untuk menutup pesaing dengan alasan belum memenuhi regulasi yang ada memang mudah, yang sulit adalah berbenah diri dan berinvestasi pada langkah-langkah strategis untuk mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan konsumen. Semudah bagi pemerintah menutup Uber, Grab, Gojek, dan sejenisnya karena tidak sesuai dengan regulasi yang ada, dan sesulit membuat formula regulasi baru yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman sehingga tidak merugikan konsumen. Bagaimana kebijakan pemerintah dalam hal ini, apakah memihak pelaku industri lama, memihak konsumen, atau menghadirkan solusi jalan tengah akan segera kita lihat, yang jelas yang dapat kita ambil pelajaran adalah creative destruction akan selalu ada dan tidak terhindarkan, lantas apa yang harus dilakukan oleh pelaku industri lama?

sumber gambar: thejakartapost.com

Mari kita berkaca lagi pada fenomena batik Pekalongan. Pada masa jayanya, banyak warga Pekalongan yang dihidupi oleh industri batik tradisional. Para pengrajin batik Pekalongan mengandalkan produk sarung dan kain sebagai produk utama mereka. Masuknya produk-produk dari pengusaha batik di luar Pekalongan yang menggunakan mesin untuk produksi batiknya sehingga dengan efisiensi produksinya menghasilkan harga kain batik yang lebih murah, mengakibatkan kebangkrutan massal dari pengrajin batik Pekalongan yang masih memproduksi batik dengan teknik tulis. Apakah para pengrajin batik tradisional saat itu berdemo kepada pemerintah untuk menutup pabrik-pabrik batik cap? Tidak. Kurang dari sepuluh tahun kemudian, anak-anak para pengrajin batik tradisional yang pada saat terjadinya kebangkrutan masih duduk di sekolah menengah, mulai memegang tongkat estafet industri batik orangtua mereka. Strategi berbeda diterapkan oleh generasi penerus ini, jika sebelumnya batik tradisional Pekalongan mengandalkan produksi sarung dan kain, para pengrajin batik generasi baru ini mengubah haluan dengan memproduksi batik dalam bentuk pakaian (baju, rok, celana), taplak meja, seprei, dan lain sebagainya. Ternyata, produk batik jenis ini memang cocok diproduksi oleh pengrajin-pengrajin batik tradisional dibandingkan dengan pabrikan besar. Produk-produk batik ini lebih bersifat personal dan sangat tergantung pada selera, hanya dalam skala produksi yang kecil lah pemenuhan kebutuhan dan selera konsumen dapat dilayani dengan baik. Pasarnya terlalu kecil untuk hanya satu corak tertentu. Akhirnya para pengharjin batik mulai sering memproduksi batik dengan corak yang berbeda-beda dalam satu toko, hal seperti ini tidak akan dapat kita temui sebelum tahun 70an. Dengan kembalinya batik Pekalongan menemukan pijakannya, warga Pekalongan kembali mendapati batik sebagai sumber penghidupannya. Sentra-sentra batik kembali menjamur dan Pekalongan tetap dikenal sebagai kota batik.

Pelaku industri lama hendaknya memiliki mental seperti generasi penerus batik Pekalongan yang alih-alih menyalahkan industri baru, mereka terus bergerak menemukan cara baru dan menggali lagi potensi produk sehingga bisa tetap eksis tidak tergerus zaman. Setiap perusahaan lama membutuhkan “anak-anak pengrajin batik” nya masing-masing yang visioner dan tidak kaku untuk beradaptasi. Sementara agar mencegah chaos seperti kemarin, penting juga bagi pelaku industri baru untuk tidak menutup mata dari dampak sosial yang berpotensi akan dihasilkan dari inovasi yang ditawarkannya dengan melakukan kajian-kajian mendalam terlebih dahulu. Jika sudah terlanjur rusuh seperti kemarin kan akhirnya perlu investasi besar lagi untuk rebranding dan kembali memenangkan hati konsumen.

sumber gambar: kompas.com


Coba BlueBird lebih peka dari awal, biaya rebranding tersebut bisa diinvestasikan pada langkah-langkah strategis serta bebenah diri agar tidak loyo menghadapi persaingan. Itupun kalau rebrandingnya berhasil, nyatanya setelah kejadian kemarin, sepertinya brand taxi konvensional sudah beyond saving, langkah BlueBird menggratiskan tarif satu hari setelah demo itupun malah menghasilkan hashtag #PercumaGratis yang jadi trending topic, menggambarkan betapa tetap tidak percayanya konsumen terhadap BlueBird setelah demo rusuh kemarin. Wajar saja, jika rekan sesama supir taxi saja dihajar, mobilnya dirusak dengan berbagai senjata, siapa yang tidak was-was membiarkan keluarganya naik taxi yang sama dan menjamin supirnya bukan salah satu dari supir-supir yang preman? Sudah “dihancurkan”, “meledakkan diri” pula.

ENJOY YOUR DAY!

Ditulis oleh Ramy Dhia
Seorang mahasiswa arsitektur yang mencintai dunia desain, teknologi, pop culture, dan penulisan. Ngeblog sejak 2010 dan mulai ngeVlog di Youtube sejak 2014. Hobi nonton TV Series dan merupakan pemain abadi dari game Harvest Moon: Back to Nature.
NB: Bercita-cita ingin menguasai dunia.


You Might Also Like

13 comments

  1. Mereka tidak siap menerima perkembangan zaman. Yang gue liat kemarin mereka cuman nyari-nyari alasan doang supaya uber atau grabcar ditutup biar mereka tidak punya saingan. Kalau tarifnya disamakan, gue rasa tetap grab atau uberlah yang menang karena mereka menawarkan kemudahan dalam memilih serta kenyamanan. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. yup, karena premisnya memang "pendapatan yang menurun karena adanya uber dan grab"

      Hapus
  2. Blue Bird sudah cukup lama punya aplikasi, lho mas. Sama seperti taksi online lain, kita bisa memesan Blue Bird sesuai dengan yang kita perlukan, baik itu waktu maupun jenis armadanya (sedan/MPV).

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, tapi aplikasinya banyak dikeluhkan kurang responsif, dan gak terlalu catchy

      Hapus
  3. Kaya nasi sudah menjadi bubur mungkin jalan tengah yg perlu diambil karena gak mungkin harus ngilangin grab atau uber yg ada kita malah terus tertinggal (inovasinya) oleh negara lain hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. pemeirntah harus meregulasi grab sama uber, mungkin bisa belajar dari langkah yang diambil pemerintah India

      Hapus
  4. sebenarnya ini ketegasan dari pemerintah dalam menegaskan peraturan sih. duh kemana sih mentri=mentri kita? kok gaada komen soal ini sih.

    BalasHapus
  5. Padahal asalnya aku pelanggan si ranger biru, lho.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sebenernya aku juga kak, lebih percaya ke ranger biru kalo dibanding taxi lain... jadi kecewa deh sampe kayak gitu

      Hapus
  6. Inilah capitalism... Hehehehe....

    BalasHapus
    Balasan
    1. yap, disamping memiliki keuntungan, kapitalisme juga memiliki efek-efek negatifnya

      Hapus
  7. Kalau lagi emosi siapapun yang nggak bersalah dan nggak ada kaitannya jadi ikutan keserang, kasian duh.

    BalasHapus
  8. Sudah saatnya taxi konvensional maupun taxi online berbagi kue di jalanan. Semoga Indonesia bisa jadi lebih baik lagi.

    BalasHapus

Page Ranking Tool
DMCA.com

I'm in

postimage
Mutsurini Team
Komunitas Online Kab.Tangerang Warung Blogger